Abstrak
Tulisan ini mengkaji cerpen “Malin Kundang 2000” dan
Cerita Malin Kundang secara intertekstual. Tujuan kajian intertekstual cerpen
ini adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut.
Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya
sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur
kesejarahan tersebut. Metode intertekstual dalam analisis ini dilakukan dengan
cara membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan teks-teks sastra yang
menstransformasi dari teks yang lain yang merupakan teks hipogramnya. Dalam hal
ini teks-teks cerpen mentransformasi teks cerita Malin Kundang.
Kata Kunci:
analisis, teks sastra, intertekstual, transformasi, hipogram.
1. Pendahuluan
Kehadiran
suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra
sebelumnya, yang pernah direspon oleh sastrawan. Pengarang tidak semata-mata
memproduksi karya, tetapi terlebih dahulu juga merespon sebuah karya. Dari
proses resepsi pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang
baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu,
pengarang mempelajari gagasan yang tertuang dalam karya itu, memahami konvesi
sastranya, konvensi estetiknya, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu
karya sastra.
Karya sastra
kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya
(Teeuw, 1983:63). Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.
Hubungan sejarah ini berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian
ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya
sezaman, sebelum atau sesudahnya (Pradopo, 2003:167). Jadi, dalam menciptakan
karya sastra pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra
yang lain.
Karya sastra
akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan
tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dipandang
sebagai wujud kebudayaan dan tidak mustahil sastra merupakan rekaman terhadap
pandangan masyarakat tentang seni. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya sastra
merupakan konvensi masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya suatu
bentuk kesenian yang bernama sastra. Wujud konvensi budaya yang telah ada di
masyarakat secara konkret antara lain berupa karya-karya yang ditulis yang
diciptakan orang sebelumnya. Namun, ia dapat juga berupa cerita-cerita rakyat
yang berwujud cerita lisan (folklore) yang mewaris secara turun-temurun
(Nurgiyantoro, 1998:15).
Julia
Kristeva dalam Nurgiyantoro (1998:15) menjelaskan bahwa tiap teks itu merupakan
mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain.
Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal menarik yang kemudian diolah kembali
dalam karyanya, atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang
menarik, baik sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan
menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya, kemudian
mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik
sendiri sehingga terjadi perpaduan yang baru. Konvensi dan gagasan yang diserap
itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogramnya
dengan teks baru, yakni teks transformasi.
Cerpen
“Malin Kundang 2000” karya Irwansyah Budiar Putra mengangkat tema tentang sifat
durhaka yang mengakibatkan kutukan. Teks“Malin Kundang 2000” tersebut merupakan
hipogram dari cerita Malin Kundang.
Pada
dasarnya penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran penelitian
diakronis, yang mencoba melakukan penelitian terhadap karya-karya lama yang
dihubungkan dengan karya baru. Berkaitan dengan hal itu, teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori intertekstual.
2. Kajian Pustaka
2. 1 Intertekstual Karya Sastra
Secara luas
intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dan teks
yang lain. Lebih dari itu teks itu sendiri secara etimologis (textus,
bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan.
Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi,
permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari
hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang
dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre,
interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk
menemukan hipogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dan novel,
novel dengan puisi, novel dan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak
semata-mata sebagai persamaan, tetapi juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai
parodi maupun negasi (Ratna, 2004:173).
Mengenai
keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre
(Ratna, 2005:222) mendefinisikan hipogram sebagai struktur prateks,
generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (Hartyanto, 2008, 2001:118)
merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (berupa ide, kalimat, ungkapan,
peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang
kemudian teks sastra yang dipengaruhinya.
Teori
intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian
mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak
ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya
dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan
teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw,
2003: 145).
2.2 Tujuan Kajian
Intertekstual
Tujuan
kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih
penuh terhadap karya tersebut. Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika
dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut (Nurgiyantoro, 1998:15).
Frow
(Hartyanto, 2008) mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi
tersebut adalah:
1) konsep
interteks menuntut peneliti untuk memahami teks bukan hanya sebagai isi, melainkan
aspek perbedaan sejarah teks;
2) teks
tidak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu
sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks;
3)
ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain, tetapi hadir juga
dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu;
4) bentuk kehadiran struktur teks
merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit;
5) hubungan
teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan
tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat
penghilangan-penghilangan bagian tertentu;
6) pengaruh
mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma
sastra;
7) dalam
melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan pada
pengaruh.eks berbngan melakukan kritik
3. Metode
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian sastra yang disebut
metode intertekstualitas (Jabrohim, 2001:87). Langkah-langkah dalam penelitian
ini mengikuti metode kerja pendekatan intertekstual, yaitu dengan cara
membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks sastra dengan
teks-teks lainnya.
Aspek yang
akan diteliti dalam teks cerpen “Malin Kundang 2000” karya Irwansyah Budiar
Putra dan “Malin Kundang Pulang Kampung” karya Achmad Muchlis Amrin dapat
dilihat dalam tabel berikut.
Teks sumber
|
Sudut pandang analisis
|
Uraian/
analisis
|
Hasil analisis
|
cerpen
“Malin Kundang 2000” karya
Irwan-syah Budiar Putra
|
Inter-
tekstual
|
Gambaran perbandingan struktur cerpen
“Malin Kundang 2000” dan teks
legenda Malin Kundang.
|
Persamaan dan perbedaan struktur cerpen
“Malin Kundang 2000”dan teks
legenda Malin Kundang.
|
4. Tinjauan terhadap Cerita Malin
Kundang
Malin
Kundang kita kenal sebagai seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Ia tidak
mengakui ibunya sehingga dikutuk menjadi batu. Cerita berawal dari keadaan
Malin dan keluarga yang memprihatinkan. Dilanjutkan oleh keterangan bagaimana
kehidupan Malin bersama ibunya sepeninggal ayahnya. Karena melihat kondisi
keluarganya yang serba kekurangan, Malin tidak tega melihat ibunya banting
tulang demi keluarganya sehingga ia bertekad untuk pergi berlayar dan merantau
meninggalkan kampungnya. Malin Kundang bekerja di tengah lautan, ia dirampok
oleh kawanan bajak laut yang membuat Malin terdampar di sebuah desa yang sangat
subur karena ia satu-satunya orang yang selamat dari perampokan tersebut.
Setelah lama tinggal di desa tersebut, karena keuletan dan kegigihannya, Malin
menjadi orang yang kaya raya. Karena telah memiliki harta yang melimpah, Malin
dan istrinya ingin berlayar mengarungi lautan sehingga tiba di kampung
halamannya dahulu. Kemudian diceritakan bagaimana penantian ibu Malin akan
kedatangan anaknya.
Setelah
menjadi saudagar kaya raya, Malin tak mau mengakui sang ibunda yang
miskin papa. Berbohong pula ia pada istrinya, anak saudagar kaya nan
terpandang, bahwa wanita tua tak berpunya di hadapannya bukanlah ibu yang
mengandung dan mengasuhnya. Akhirnya, terkutuklah Malin menjadi batu beserta
kapal dagang kebanggaannya. Dingin dan membatu diterpa ombak lautan sepanjang
masa sebagai pelajaran bagi manusia.
Sosok Malin
Kundang adalah sosok yang lupa diri akan asalnya. Ia tercerabut dari akarnya
dan menjadi sosok sombong setelah mengalami perubahan status kelas sosial yang
berbeda dengan sang Ibunda. Lupa diri si Malin merupakan contoh hilangnya
kesadaran identitas dalam diri manusia. Kesadaran identitas adalah kesadaran
individu yang utuh akan atribut-atribut asal yang melekat pada dirinya.
Bukan hanya nama, agama, dan alamat seperti di KTP, tetapi lebih dalam seorang
individu sebagai manusia dan segala latar yang membentuk kehidupannya. Juga
bukan hanya siapa diri kita, melainkan berlanjut ke pertanyaan apa dan
bagaimana diri kita dengan segala atribut-atribut tadi. Apa itu manusia, agama,
suku bangsa, dan negara, untuk apa eksistensinya sebagai manusi beragama,
bersuku bangsa, dan bernegara, kemudian berlanjut hingga harus bagaimana
manusia itu berperilaku sebagai seorang yang beragama, bersuku bangsa, dan
bernegara.
5.Interteks Cerpen “Malin Kundang 2000” dan Cerita Malin Kundang
5.1
Interteks Alur Cerpen “Malin Kundang 2000” dan Cerita Malin Kundang
a) Persamaan
Cerpen
“Malin Kundang 2000” karya Irwansyah Budiar Putra dan cerita Malin
Kundang sama-sama mengungkap masalah-masalah pertentangan
adat-istiadat berupa kutukan dan berkutat pada masalah kedaerahan. Seperti pada
kutipan berikut.
“Penduduk
pantai Air Manis tak henti-hentinya membicarakan batu yang selama ini mereka
yakini sebagai Malin Kundang, anak durhaka yang dikutuk ibunya (paragrap
4)
Cerpen
“Malin Kundang 2000” ini merupakan respon dari cerita “Malin Kundang” dengan
kata lain pengarang mengambil ide untuk melanjutkan cerita “Malin
Kundang” setelah dikutuk jadi batu kemudian diceritakan batu Malin
Kundang hilang dan kembali menjadi manusia.
Cerpen
“Malin Kundang 2000” memiliki persamaan alur cerita yaitu sama-sama
menceritakan sikap Malin Kundang yang tetap angkuh, keras hati dan tinggi hati,
dalam cerpen “Malin Kundang 2000” diceritakan batu Malin Kundang hilang dan
kembali menjadi manusia, namun sikapnya tetap saja sama angkuhnya seperti pada
cerita “Malin Kundang”. Malin tidak menunjukkan rasa bersalah, bahkan mengelak
dari kesalahan-kesalahannya yang membuat ibunya sakit hati. Malin bahkan
memberikan alasan-alasan kepada wartawan pada waktu dia menggelar jumpa pers,
mengapa dia sampai tidak mengakui ibunya. Berikut cuplikan cerita ketika
Malin ditanya wartawan.
“Seingatku,
ibuku adalah perempuan muda yang berbadan kuat. Bukan nenek-nenek.”
“Bukankah
umur manusia bertambah?” ( paragraf 19)
Keangkuhan
Malin dalam cerpen “Malin Kundang 2000” tersebut, sama seperti dalam cerita
Malin Kundang, Malin tidak mau mengakui ibu kandungnya bahkan tega
menghina dan melukai hati ibunya.
b) Perbedaan
Cerpen
“Malin Kundang 2000” menyuguhkan sajian menarik atas cerita masa lampau, yang
dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis. Selain itu, karya sastra ini
merupakan arus kesinambungan sepanjang masa sebagai struktur yang dinamik.
Cerpen “Malin Kundang 2000” memberi kejutan bahwa batu Malin Kundang hilang.
Masyarakat tak henti-hentinya membicarakan batu Malin Kundang dan terkejut
dengan berita Malin Kundang yang kembali jadi manusia. berikut adalah
kutipannya.
”Lihat! Batu
itu sudah tak ada” seseorang menunjuk.
”Batu apa?”
”Batu Malin
Kundang!”
”Kemana
hilangnya?”
”Segerombolan
orang kota pasti sudah membawanya!” (paragraf 3).
Pada cerita
Malin Kundang dikisahkan kehidupan Malin Kundang yang durhaka pada ibunya dan
dikutuk menjadi batu. Jadi, cerita Malin Kundang adalah kisah kutukan anak
durhaka menjadi batu, sedangkan cerpen “Malin Kundang 2000” dapat dikatakan
sebagai respon kisah cerita Malin Kundang. Dalam hal ini, respon yang
ditunjukkan adalah cerita lanjutan atas konsep cerita Malin Kundang.
Pada cerita
Malin Kundangberakhir dengan kisah Malin Kundang dikutuk menjadi batu. Berikut
kutipan ceritanya.
“Kapal besar
Malin Kundang dihantam gelombang laut dan badai yang datang secara tiba-tiba.
Ketika itu Malin Kundang sempat memanggil ibunya, namun kebesaran Tuhan telah
datang, Malin Kundang si Anak Durhaka itu tenggelam bersama kapalnya dan
terdampar di tepi Pantai Air Manis. Konon karena kutukan ibunya, saat itu pula
Malin Kundang beserta istrinya berubah menjadi batu (paragraf:14).
5.2
Interteks Tokoh dan Perwatakan Cerpen “Malin Kundang 2000” dan Cerita Malin
Kundang
Tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita. Adapun cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu
disebut dengan penokohan (Aminuddin, 1987: 79).
Rahmanto
dan Hariyanto (1998:2—13) menyatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam
cerita, sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra.
Perbedaan
tokoh pada cerpen “Malin Kundang 2000” dan cerita Malin Kundang dapat dilihat
pada tabel berikut.
No
|
Cerita
“Malin Kundang”
|
Cerpen
“Malin Kundang 2000”
|
1
|
Malin
Kundang
|
Malin
Kundang
|
2
|
Ibu Malin
Kundang
|
Seorang
ibu
|
3
|
Istri
Malin
|
Wartawan
|
4
|
Bajak laut
|
Masyarakat
Pantai Air Manis
|
5
|
Ayah Malin
|
|
6
|
Masyarakat
desa
|
|
a) Tokoh Malin Kundang
Malin
Kundang merupakan tokoh utama dalam cerpen “Malin Kundang 2000”, sama seperti
pada cerita Malin Kundang.Tokoh Malin sama memiliki watak yang angkuh,
keras hati, tinggi hati bahkan menjadi pendendam. Dia akan menuntut ibunya
kelak di hadapan Tuhan, karena ibunya tega mengutuknya menjadi batu. Berikut
kutipan ceritanya.
“tak ada
yang salah dengan peribahasa itu, nak”
“ jika
peribahasa itu benar, tentu ibuku tidak mengutuk ku, kan?
“ sulit
menjelaskannya, nak”
“ aku akan
menuntut ibuku” ( paragraf 15).
Pada cerita
Malin Kundang jadi batu tokoh yang ditampilkan hanya terdapat tiga tokoh yaitu,
Malin Kundang sebagai tokoh utama-antagonis, ibu Malin Kundang sebagai tokoh
utama-protagonis dan istri Malin Kundang sebagai tokoh pendukung atau tambahan.
Sedangkan dalam cerpen “Malin Kundang 2000” tokoh yang ditampilkan lebih
banyak, yaitu Malin Kundang sebagai tokoh utama-antagonis, seorang ibu sebagai
tokoh pendukung, penduduk pantai air manis sebagai tokoh pendukung, dan para
wartawan sebagai tokoh tambahan.
b) Tokoh Seorang Ibu
Tokoh ibu
pada cerpen “Malin Kundang 2000” merupakan seorang penduduk Pantai Air Manis
yang sering berdialog dengan Malin Kundang dan sering menasihati anak-anaknya.
Berikut kutipan ceritanya.
“Sang ibu
tersenyum, “kutukan itu selalu tidak mengenakkan anakku”
“mengapa
orang tua tega mengutuk anaknya”
“karena si
anak terlalu membuat sakit hati”(paragrap 7)
Dengan
demikian, berdasarkan kutipan-kutipan di atas, seorang ibu merupakan tokoh
pendukung yang menggambarkan sebagian cerpen ini. Watak ibu yang keibuan
membuat dia mampu merawat anak-anaknya dengan baik dan selalu mengingatkan
anak-anaknya untuk tidak melawan orang tua.
5.3
Interteks Latar Cerpen “Malin Kundang 2000” dan Cerita Malin Kundang
Persamaan
dan perbedaan latar yang terdapat pada Legenda Malin Kundang dengan
cerpen “Malin Kundang 2000” dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
No
|
Cerita
“Malin Kundang”
|
Cerpen
”Malin Kundang 2000”
|
||
Latar
Tempat
|
Latar
Waktu
|
Latar
Tempat
|
Latar
Waktu
|
|
1
|
Pesisir
pantai wilayah Sumatra
|
Semingu
|
Pantai Air
Manis
|
Malam
|
2
|
Kapal
|
dua minggu
|
pinggir
pantai
|
Pagi
|
3
|
Ruang
kecil
|
sebulan
|
kota
Padang
|
Sore
|
4
|
Tengah
laut
|
dua bulan
|
Pulau
pisang kecil
|
Jumat
|
5
|
Pantai
|
1 tahun
lebih
|
|
Di awal
tahun 2000
|
6
|
Desa
|
|
|
|
Pada legenda
aslinya, latar tempat yang mendominasi adalah wilayah sekitar pesisir pantai.
Perhatikan kutipan-kutipan berikut!
“Pada suatu
waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi
nama Malin Kundang . Karena kondisi ekonomi keluarga memprihatinkan, sang ayah
memutuskan untuk mencari nafkah di negeri sebrang dengan mengarungi lautan yang
luas”. (paragraf 1)
Latar tempat pada cerpen “Malin
Kundang 2000” terdapat pada kutipan berikut.
“Penduduk Pantai
Air Manis tak henti-hentinya membicarakan batu yang selama ini mereka
yakini sebagai Malin Kundang, anak yang durhaka yang dikutuk ibunya”. (paragrap
4)
“Akan tetapi
Malin Kundang sudah melenggang pergi dan tinggal di Pulau Pisang Kecil
yang letaknya tidak jauh dari Pantai Air Manis,(paragrap:17)”
Latar waktu
cerpen “Malin Kundang 2000” terdapat pada kutipan berikut.
“Malam,
angin puting beliung menyiutkan nyali. Halilintar menggelegar membuat badan menggigil…(paragraf:1)”
“Selesai
shalat Jum’at di suatu hari di awal tahun 2000, bersama sepuluh
orang lelaki berbadan gempal yang membantunya membuat kapal. Malin Kundang
berlayar meninggalkan Pantai Air Manis(paragrap:18)”
5.4
Interteks Tema Cerpen “Malin Kundang 2000” dan Cerita Malin Kundang
Tema yang
diusung pada cerpen “Malin Kundang 2000” yaitu batu Malin Kundang yang
dianggap sebagai Malin Kundang anak durhaka, hidup kembali menjadi
manusia. Dia berusaha menjelaskan alasan-alasan atau pembelaan diri atas
anggapan-anggapan semua orang tentang dia selama ini yaitu dianggap sebagai
anak durhaka. Selain itu, di balik kesombongan dan keangkuhan Malin Kundang ada
hal-hal yang patut ditiru, yaitu kegigihan dalam bekerja, ulet, dan pantang
menyerah.
6. Simpulan
a) Cerpen
“Malin Kundang 2000”, merupakan bentuk transformasi dari cerita Malin
Kundang.
b) Alur cerpen
“Malin Kundang 2000” mengisahkan batu Malin Kundang yang menjadi manusia
kembali. Dapat dikatakan cerpen itu merupakan kelanjutan atau perluasan dari
cerita Malin Kundang.
c) Tokoh
cerita Malin Kundangberbeda dengan cerpen “Malin Kundang 2000”.Tokoh-tokoh
pada cerita Malin Kundangadalah Malin Kundang, ibu Malin Kundang, istri
Malin, bajak laut, ayah Malin, dan masyarakat desa. Tokoh-tokoh cerpen“Malin
Kundang 2000”adalah Malin Kundang, seorang ibu, wartawan, dan masyarakat Pantai
Air Manis.
d) Latar cerpen “Malin
Kundang 2000” diperluas dari cerita Malin Kundang
e) Tema
yang diusung pada cerpen “Malin Kundang 2000” dan cerita Malin Kundang
mengetengahkan permasalahan hubungan anak dengan orang tua dan masalah kutukan.
Namun, pengemasan setiap cerita sangat berbeda.
Daftar
Pustaka
Culler, J. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotics,
Literarure, Deconstruction. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Hartyanto, R.A. 2008. “Keperempuanan Tokoh Matsumi
dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang dan Tokoh Srintil dalam
Novel Ronggeng Dukuh paruk Karya Ahmad Tohari: Kajian Intertekstual”. Diunduh
dari http://kunthink.blogspot.com/2008/03/intertekstual-perempuan-kembang-jepun.html. [15
Deswember 2011, pukul 19.00].
Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Luxemburg, B. M., Westeinjn. 1984. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Nurgiyantoro, B. 1998. Transformasi
Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas
Press.
Nurgiyantoro, B. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rangkuti, Hamsad. 2007. ”Si Lugu dan Si Malin
Kundang”. [Online]. Tersedia: http://www.sriti.com/story_view.php?key=2597. [10
Desember 2011, pukul 20.00].
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme
Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta:
Gramedia.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Posting Komentar